Rabu, Desember 20, 2006

IBU DAN SURGA

“Ya Rasulullah! Siapakah yang paling berhak menerima baktiku?” Nabi saw menjawab, “Ibumu”. Kemudian siapa lagi, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ibumu”. Kemudian siapa lagi, ya Rasulullah”. Nabi menjawab, “Ibumu”. Kemudian siapa lagi, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ayahmu.”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Demikian perbincangan antara seorang sahabat dengan Rasulullah saw di suatu saat. Berdasarkan riwayat di atas, perintah untuk berbuat baik kepada ibu diulang hingga tiga kali berturut-turut. Hal ini menunjukkan bahwa ibu memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangan Islam.

Memang, keberadaan manusia di dunia ini tidak pernah lepas dari peran orang tua, terutama ibu. Ibulah yang melahirkan kita ke dunia ini. Ibu jugalah yang membimbing kita hingga kita menjadi mandiri dan sukses. Bisa jadi kita tidak akan pernah bisa menghirup segarnya udara di subuh hari. Bisa jadi kita tidak pernah bisa merasakan betapa asyiknya berlarian di tepi pantai jika sebelumnya ibu tidak melahirkan kita ke dunia ini. Beruntung Allah swt menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan Adam a.s. hingga dunia ini semarak oleh anak cucunya.

Tak salah jika dalam satu kamus, sebagaimana dikutip Ahmad Abdul Hadi dalam buku Al-Qur’an Berbicara Tentang Ibu (al-Ummu Fil Qur’anil Karim) mengatakan bahwa kata “ibu” diartikan sebagai “sumber segala sesuatu”. Sumber yang tidak saja melahirkan manusia ke dunia, tidak saja mengasuh dan merawat kita dengan segala ketabahan dan kesabarannya, tapi juga sumber penentu ke mana putra-putrinya melangkah dalam mengarungi bahtera hidupnya kelak.

Ke surga ataukah ke neraka? Ibu mempunyai peran strategis dalam menentukan tujuan yang sering-sering disinggung Allah swt. ini. Lebih dari itu, “Ibu adalah sekolah. Bila kamu persiapkan, kamu persiapkan bangsa yang baik akarnya,” demikian seorang penyair Arab pernah bertutur.

Sedemikian tingginya kedudukan ibu dalam Islam, sampai-sampai salah satu riwayat menyebutkan, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu,” – meski banyak ulama yang men-dhaifkan riwayat ini.

Al-Qur’an sendiri telah menandaskan, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu,” (QS. Luqman: 14).

Bahkan salah satu hadist menyebutkan, “Keridhaan Allah terkait dengan keridhaan kedua orang tua dan murka Allah terkait pada murka kedua orang tua.” (HR Al-Hakim).

Rasulullah saw. Bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar?” Beliau mengulang pertanyaan ini hingga tiga kali. Para sahabat menjawab, “Ya, kami mau wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Jangan kalian sekutukan Allah dan janganlah berbuat durhaka terhadap orang tua kalian.”

Ya Allah, ampunilah segala kesalahan kami dan kesalahan kedua orang tua kami. Dan sayangilah mereka sebagaimana mereka mencurahkan kasih sayangnya kepada kami, sewaktu kami masih kecil dulu. Wallahua’alam bil shawab.

Sumber: Majalah Hidayah edisi Juli 2005

0 komentar: