Kamis, Juni 15, 2006

Senyum

Pada dasarnya, semua orang bisa tersenyum, namun kadangkala karena ketidakseimbangan baik fisik apalagi mental membuat sebagian orang sulit untuk tersenyum. Dalam ajaran Islam, tersenyum dianggap sebagai suatu ibadah, Rasulullah saw bersabda, "Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah," (HR Muslim).

Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah saw berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain," (HR Muslim).

Orang yang selalu bermuka cerah, tentu akan mendapat tempat dan disukai oleh banyak orang, sebaliknya orang yang hanya cemberut saja, mudah tersinggung dan marah akan dijauhi banyak orang. Kondisi yang terakhir justru akan merusak keseimbangan fisik, tekanan darah naik, detak jantung tidak menentu dan lekas tua. Dalam dunia kesehatan ditemukan bahwa orang yang tersenyum, tertawa tidak berlebihan, membuat jasmaninya sehat terutama dapat mengendorkan ketegangan otot wajah, wajahnya selalu terlihat berseri dan indah dipandang.

Secara filosofi, senyum adalah ekspresi optimisme dan harapan. Sedangkan marah adalah ekspresi keputusasaan dan ketidaksabaran. Senyum adalah sikap membangun, marah adalah sikap merusak. Menyikapi kondisi carut-marut bangsa ini, layaklah kita tersenyum. Sikap marah hanya akan memperkeruh kondisi, kemarahan bisa berbuah dendam, bisa menyulut pertikaian, bisa mengubur ukhuwah. Ringkasnya, marilah tersenyum dan hindari marah. "Orang yang pantas dipuji ialah orang yang masih sanggup tersenyum dalam keadaan serba menyayat memilukan hati" (Ella W Wilcox). Waallahu 'alam.

By : Fuadi Djoni

Senin, Juni 12, 2006

Tiga Amalan Baik

Bumi yang ditempati manusia adalah planet yang selalu berputar. Ada siang dan ada malam. Kehidupan manusia juga berlangsung seperti itu. Kadang senang, kadang sedih. Selain Allah SWT, tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Untuk menghadapi perputaran roda kehidupan, paling tidak kita memerlukan tiga amalan baik, yakni istiqamah, istikharah, dan istighfar.

Istiqamah adalah kokoh dalam akidah dan konsisten dalam beribadah. Begitu pentingnya istiqamah ini sampai Nabi Muhammad SAW menyinggungnya dalam salah satu hadis. Dari Abi Sufyan bin Abdullah berkata, ''Aku telah berkata, 'Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu bertanya kepada orang lain selain engkau'. Nabi menjawab, 'Katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah'.'' (HR Muslim)

Istikharah adalah sarana untuk mohon petunjuk Allah dalam setiap langkah, dan penuh pertimbangan dalam setiap keputusan. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk berbicara dan berbuat. Akan tetapi, menurut Islam, tidak ada kebebasan yang tanpa batas. Batas-batas tersebut adalah aturan agama. Seorang Muslim yang benar, selalu berpikir berkali-kali sebelum bertindak atau berucap. Dia juga selalu memohon petunjuk kepada Allah.

Kata-kata bijak think today and speak tomorrow (berpikirlah hari ini dan bicaralah esok hari) sering menjadi inspirasi bagi seorang Muslim. Kalau ucapan itu tidak baik apalagi menyakiti orang lain maka tahanlah. Tapi, jika ucapan itu benar dan baik maka katakanlah, apa pun risikonya. ''Tidak akan rugi orang yang beristikharah, tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah, dan tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat.'' (HR Thabrani).

Istighfar adalah selalu introspeksi dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Setiap kesalahan dan dosa itu sebenarnya penyakit yang merusak kehidupan kita. Karena itu, segala kesalahan dan dosa itu harus dihindari. Tidak sedikit persoalan besar yang kita hadapi akhir-akhir ini yang diakibatkan kesalahan kita sendiri. Saatnya kita introspeksi dan memohon ampun kepada Allah.

Adakalanya kehidupan sosial dan ekonomi sebuah bangsa mengalami kesulitan yang disebabkan oleh dosa-dosa masa lalu yang menumpuk, dan tidak pernah dibersihkan melalui tobat. Jika itu penyebabnya, maka obat satu-satunya adalah beristighfar dan bertobat. Allah SWT telah menjadikan kisah Nabi Hud sebagai teladan yang baik untuk menjaga kehidupan agar tetap berlangsung baik. ''Dan (Hud) berkata, hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa. (QS Hud:52).

Sekali lagi, tiada kehidupan yang sepi dari tantangan dan godaan. Agar kita tetap tegar dan selamat dalam menghadapi berbagai gelombang kehidupan, tidak bisa tidak kita harus senantiasa istiqamah, istikharah, dan istighfar.

By :Tumi Indrayati

Jumat, Juni 09, 2006

Menyingkapi Marah & Mengendalikan Diri

"Dan bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Ali Imran [3]: 134)

Dari Abu Hurairah, bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, "Berilah nasihat kepadaku." Rasulullah bersabda, "Janganlah kamu marah." Lalu Rasulullah mengulanginya, "Janganlah kamu marah."

Demikian pula dalam Hadis lain disebutkan, "Tidaklah seseorang dikatakan pemberani karena cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah orang yang dapat menguasai diri dan nafsunya ketika marah."

Sekuat apapun ibadah ritual seseorang, jikalau dia pemarah, maka tetap akan rusak imannya. Kerugian pemarah di antaranya adalah dalam pergaulan ia tak disukai karena para pemarah itu wajahnya tampak tak menyenangkan. Kata-katanya pun kotor dan keji. Bahkan sampai-sampai ia pun seringkali tak sadar apa yang dikatakannya.

Kalau seorang pemarah menjadi pemimpin maka dia tidak akan sukses sebab dia akan diikuti bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti. Keputusannya cenderung tak adil karena seringkali emosional. Bila berbeda pendapat, selalu ingin memuntahkan ketidaksukaannya. Singkatnya, pemimpin yang pemarah sebenarnya sedang menunggu waktu untuk jatuh.

Seorang ibu yang pemarah akan menularkan budaya buruk terhadap anak-anaknya. Keturunannya akan memiliki dua kemungkinan. Pertama, menjadi pendiam dan beku karena stres. Kedua, menjadi kasar dan suka berontak.

Kalau banyak guru yang pemarah, maka tak usah heran bila murid-muridnya sering tawuran. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah para gurunya kurang mampu memberikan teladan dan menyejukkan hati para muridnya.

Pendek kata, para pemarah itu akan membawa bala dan ini tak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Lalu, bagaimana Rasulullah yang mulia menyikapi marah? Bila masalah pribadi yang dihina, maka beliau selalu memaafkan. Tetapi bila masalah agama dihina, maka beliau akan marah dan selalu siap membela.

Beliau sempat marah ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar merasa kecewa dan menganggap Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah pembagian ghanimah yang sebagian besar diberikan kepada kaum Muhajirin, orang-orang yang baru masuk Islam di Mekkah, dan bukan kepada kaum Anshar.

Rasulullah kala itu memerah mukanya sampai-sampai berkata, "Jikalau Allah dan Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang adil. Padahal mereka pulang dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah." Singkat tetapi mempunyai makna mendalam dan tak menyakiti siapapun, bahkan membangkitkan kesadaran. Rasul marah dengan alasan dan cara yang benar, juga pada saat yang tepat, hingga hasilnya bermanfaat.

Allah memang menciptakan manusia dengan 'software' gembira dan cinta, juga perasaan sedih dan marah. Dengan marah kita bisa membela keluarga, agama, atau orang-orang yang lemah. Misalnya dalam perang melawan yang batil --emosi termasuk salah satu bagian penting. Jika tidak, justru berbahaya karena tak bisa membela atau membangkitkan semangat.

Pemarah itu ada empat jenis. Pertama, orang yang cepat marahnya, tapi lambat redanya. Kedua, orang yang lambat marahnya dan lambat pula redanya. Ketiga, orang yang cepat marahnya dan cepat pula redanya. Keempat, orang yang lambat marahnya, tapi cepat redanya. Tentunya kita berupaya untuk memilih yang terakhir.

Maka dari itu tahanlah sekuat-kuatnya jikalau kita akan marah. Perbanyak istighfar, ta`awudz, atau segera berwudhu. Jangan biarkan kita berada di tempat yang memancing kemarahan. Kalau sudah telanjur marah sebaiknya bertobat. Kalaupun harus marah, niatnya adalah bagaimana agar orang yang bersalah bisa berubah menjadi lebih baik tanpa terlukai, tanpa kita berbuat zalim.

Kemudian janganlah sekali-kali menyikapi orang yang sedang marah dengan kemarahan lagi. Maklumi dan pahamilah terlebih dahulu. Memahami bukan berarti melazimkan atau melayakkan sifat pemarah, tetapi untuk meminimalisasi peluang untuk saling merusak.

Duhai Allah, ampuni dosa-dosa yang telah kami perbuat dengan lisan ini. Ampuni jikalau kemarahan kami menzalimi dan menjadi bencana bagi hamba-hamba-Mu. Ya Allah, karuniakan kepada kami kesanggupan menahan lisan ini dari kemungkaran. kesanggupan menjaga amarah dan memaafkan orang-orang yang menyakiti kami. Ya Allah, selamatkan umat dan bangsa ini dari amarah yang membawa bala dan bencana.

Mengendalikan Diri

Musuh terbesar yang harus selalu kita waspadai adalah diri kita sendiri. Kita tak akan celaka kecuali oleh diri kita sendiri. Saat Salman Rushdi menghujat Nabi SAW, tiba-tiba dunia Islam bergolak. Yang jarang membela jadi ikut membela, begitu banyak orang yang bersemangat membela. Akhirnya hujatan itu justru menjadi alat yang bisa menggugah umat.

Musuh-musuh lahir itu tak begitu berbahaya, yang berbahaya adalah jika kita tak sanggup mengendalikan diri. Saat perang Badar, 300 kaum Muslimin bisa melawan hampir 1.000 orang. Perang yang sangat berat. Ketika perang usai, Rasul SAW bersabda "Kita baru menghadapi jihad yang kecil dan kita akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi." Sahabat bertanya, "Rasul, pertempuran seperti apakah itu?" Tenyata jihad yang lebih besar adalah melawan hawa nafsu.

Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh lahir tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan. Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain.

Peperangan bukanlah masalah menang atau kalah. Ketika Imam Ali akan menusuk lawannya, wajah beliau diludahinya, hingga beliau tak jadi membunuhnya. Kemudian lawannya bertanya, "Ali, mengapa engkau tak membunuhku?" Jawabnya, "Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tapi karena ludah."

Ketika dipukul oleh lawan, kita tak rugi, bahkan rasa sakit itu bisa menggugurkan dosa. Jika kita membalas agar lawan berhenti dari berbuat zalim, kita mendapat pahala. Tapi jika kita membalas lebih, maka kitalah yang zalim.

Masalah terbesar bagi kita adalah mengendalikan hawa nafsu karena ia ibarat kuda. Hawa nafsu (syahwat) adalah bagian dari karunia Allah, akan jadi amal saleh jika digunakan dengan niat dan cara yang benar, akan menjerumuskan jika tak dikendalikan.

Allah menciptakan setan sebagai musuh kita dan ia menjatuhkan kita melalui hawa nafsu. Kalau kita tak pandai mengendalikannya, ibarat kuda binal dengan setan sebagai pelatihnya. Jika kuda tunduk pada kita, insya Allah kita akan lebih cepat mencapai tujuan maslahat dengan energi yang lebih efisien.

Tapi kalau tak dikendalikan, akan seperti rodeo, membuat terombang-ambing, akhirnya terpelanting dan terinjak.

Mangapa masih ada orang yang tak bisa mengendalikan diri di bulan Ramadhan padahal setan saat itu dibelenggu? Karena setan itu pelatih nafsu, kalau pelatihnya diikat, tetapi yang dilatihnya sudah terlatih, maka tetap saja dia bermaksiat.

Jika kita ingin tahu sampai sejauh mana pembinaan setan pada diri kita, lihatlah kemampuan kita mengendalikan diri di bulan Ramadhan. Lalu, mulai dari mana kita mengendalikan nafsu? mulailah dari menjaga amarah, pikiran, lisan, pandangan, keinginan lainnya.
Misalkan ketika marah, "Apakah kata-kata ini nasihat atau bagai pisau yang menghunjam dan mencabik-cabik?" Mulut baru boleh berkata bila telah melalui proses perhitungan terbaik, setidaknya jangan berkata kecuali bermanfaat.

Ketika mata melihat sesuatu yang haram, jaga pandangan. Andai ingin merasakan manisnya iman, tahanlah pandangan, akrabkan mata dengan Alquran atau bacalah buku-buku yang bisa menambah ilmu. Janganlah mengobral mata untuk melihat hal yang mengotori hati. Allah Maha Melihat bagaimana gigihnya kita menahan pandangan.

Kalau akan makan, "Halalkah ini? Haruskah saya makan makanan semahal ini? Dengan uang sejumlah ini berapa orang yang bisa kita beri makan?" Jika sering bertanya seperti itu, maka nikmat makanan akan berpindah, bukan pada nikmat rasa, tapi pada nikmat syukur. Atau, "Kenapa saya harus memakai sepatu dan baju yang mahal? Bisakah uangnya dipakai membeli buku atau untuk kursus?"

Selalu mulai dengan pertanyaan. Allah Mahatahu bagaimana kegigihan kita meluruskan niat. Ketahuilah bahwa tabiat nafsu itu tak sebanding antara kesenangannya dengan akibat dan risiko yang harus dipikulnya. Allah merancang kenikmatan itu sedikit dan sebentar. Misalkan memakan makanan haram, nikmatnya sebentar, tapi akibatnya amal tak diterima selama 40 hari dan kalau jadi daging diharamkan surga baginya.

Bandingkanlah, kenikmatan sebentar dengan akibat tiada akhir yang dideritanya. Apa lagi yang bisa kita miliki kalau kita sudah tak bisa mengendalikan diri. Kalau kita tertipu dan diperbudak nafsu, lalu apa yang berharga pada diri kita.

Tak ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tak dijalan Allah. Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang gigih mengendalikan dan memelihara diri. Semoga Allah SWT menggolongkan kita menjadi orang yang sanggup mengendalikan diri.

( KH Abdullah Gymnastiar)

Kamis, Juni 08, 2006

Dibalik Pesona Muslimah

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...." Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?" Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya. Lama kemudian, si anak tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan. "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?" Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu. Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa. Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah. Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap.

Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya. Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak? Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi. Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan". Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu jika beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga. ( sumber : dari milis seorang kawan Special untuk Hari Ibu ).

Itulah pesona pribadi yang lahir dari seorang Ibu/wanita yang tulus, tak pernah lekang oleh waktu, tak pernah lekang oleh usia, sekalipun usia makin lapuk, jika pesona kepribadian itu sudah melekat dalam dirinya, pesona bathiniyah itu akan terus memancar lewat seraut wajah yang tampak, lewat tindakan, ucapan, tindakan juga perbuatan seorang muslimah.

Saudariku…Mutiara-Mutiara yang memancarkan pesona indah itu telah berkilauan sejak masa keislaman mulai merebak ditengah sebagian besar wanita jahiliyyah pada saat itu. Sarah Istri Ibrahim adalah seorang istri yang memiliki Kecantikan yang Luar Biasa, namun tenang dalam menghadapi cobaan, penuh tawakal kepada Allah, pintar dalam memahami resiko yang dihadapi, sehingga Allahpun memuliakan Sarah Istri Ibrahim. Begitu pula Hajar Ibu Ismail, Khadijah, Fatimah Az Zahra dll.. Pesona “Pribadi” mereka tetap harum dan terkenang sampai sekarang, walau mereka sudah tiada, bahkan diabadikan dalam hadits. Wallahu a'lam.

By: Daarul Muslimah