Senin, Maret 16, 2009

Ruh Amal adalah Ikhlas

Setiap hamba memiliki kemampuan dan kemauan dalam beribadah yang berbeda-beda. Ada yang rajin shaum senin-kamis, ada yang khusyu dalam shalat, ada yang kuat dalam wirid & zikir, ada yang jujur dalam dagang, dan ada pula yang tekun dalam mempelajari ilmu. Tekun dan rajin beribadahnya seorang hamba adalah tingkat ma’rifat kepada-Nya. Banyaknya amal ibadah seorang hamba juga merupakan tanda sifat ihsan dalam dirinya.

Sedangkan nilai ibadah seorang hamba dihadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba. Sedekah dengan mewakafkan seluruh harta yang dimiliki, kalau sekedar ingin disebut dermawan, sama sekali tidak bernilai apapun. Bekerja siang malam, bersimbah peluh, berkuah keringat demi menafkahi anak dan istri, kalau tidak ikhlas maka tidak ada nilainya disisi Allah.

Ceramah agama dengan memberikan nasihat, mengemukakan dalil-dalil, kalau sekedar memamerkan kemampuan berbicara, kemampuan berbahasa arab dan memamerkan banyaknya hafalan Qur’an dan Hadits maka walau sampai berbusa sekalipun tidak ada nilainya disisi Allah.

Shalat sunah berpuluh rakaat setiap hari, kalau sekedar ingin disebut sebagai ahli ibadah, ingin dipuji oleh mertua atau pimpinan maka shalatnya itu hanya sebagai gerakan-gerakan yang tiada arti dan tak ternilai dihadapan Allah.

Subhanallah, sungguh beruntung bagi siapapun yang amalnya selamat dari tujuan lain selain Allah, yaitu seorang hamba yang amal-amalnya menjauhi motif-motif duniawi karena diniatkan ikhlas karena Allah semata. Inilah derajat mukhlisin yaitu derajat hamba yang amal ibadahnya tegak dan kokoh dengan ikatan iman dan dilaksanakan dengan ikhlas. Karena dia menyadari bahwa ikhlas adalah ruh amal yang menunjukan tegaknya iman.

Imam Ibnu Atho’illah dalam kitabnya Al Hikam berujar, “Beraneka jenis amal yang nampak itu adalah karena beraneka ragam keadaan yang datangnya dari dalam hati seorang hamba. Beraneka ragam amal yang nampak itu merupakan kerangka yang tegak, sedang ruhnya adalah wujud rahasia ikhlas yang ada didalamnya’.

Jelaslah bahwa nilai ibadah seorang hamba dihadapan Allah ditunjukkan oleh ikhlasnya dalam beramal. Seorang hamba ahli ikhlas akan dengan sungguh-sungguh berusaha untuk tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupun imbalan duniawi dari apa yang dapat ia lakukan. Konsentrasi seorang hamba ahli ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima Allah Azza wa Jalla. Dengan kata lain, seorang hamba ahli ikhlas akan mengutamakan pandangan Allah daripada pandangan manusia.

Berbuat amal ibadah bagi seorang hamba ahli ikhlas adalah dengan menyembunyikannya dari pandangan manusia sebagaimana dia menyembunyikan keburukan-keburukannya. Bahkan ikhlasnya seorang hamba ahli ikhlas akan nampak bahwa ia tidak melihat terhadap ikhlas itu sendiri. Sebab jikalau ia menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, berarti ikhlasnya tersebut memerlukan keikhlasan lagi, subhanallah.

Lawan ikhlas adalah isyrak, artinya bercampur dengan yang lain. Ibarat air, ikhlas adalah air bening yang muncul dari mata air pegunungan yang berlum tercampuri walau oleh satu titik noktah pun zat lain didalamnya. Ikhlas adalah bersih, bening, tanpa campuran sedikitpun. Suatu pekerjaan yang bersih dari maksud lain, maka pekerjaan itu telah dilakukan dengan ikhlas. Amal ibadah yang dilakukan hanya karena Allah semata, itulah ikhlas.

Untuk mengapai derajat hamba ahli ikhlas, seseorang harus rela mengorbankan segala kepentingan yang sifatnya pribadi, yang secara duniawi sepertinya dibutuhkan; harta, jabatan, ketenaran, dsb. Karenanya, sikap jujur, tulus dan lurus tidak dapat dipisahkan dari ikhlas. Jujur dalam berkata, tulus dalam beramal, lurus dalam berniat adalah buah dari hati yang ikhlas.

Berkata dusta, lain dibibir dihati adalah tanda kemunafikan. Mulutnya berkata, “semua ini saya lakukan karena Allah...” padahal dalam hatinya bersarang keinginan untuk dipuji, keinginan untuk terkenal, keinginan mendapat penghargaan dsb. Orang yang berkata lain dibibir lain dihati inilah golongan pendusta, nauzubillah.

Adapun bagi orang-orang yang telah sampai pada maqam ikhlas, maka keikhlasan ini akan membuat pribadinya lebih tenang, lebih kuat dan mantap. Keikhlasan menjadikan pribadinya lebih berani, kokoh, tegar, penuh dengan cahaya keindahan.

Sedangkan keikhlasan dalam beramal akan menjadikan amal tersebut terasa nikmat dan mudah, yang pada akhirnya membuat jiwa menjadi merdeka dan tidak diperbudak oleh apapun selain oleh Allah. Tak dapat dipungkiri, hal ini memang karena ruhnya amal adalah ikhlas. Tanpa keikhlasan akan berat dan sia-sialah setiap amal. Oleh karenanya, keikhlasan adalah satu-satunya jalan pintas menuju ridha dan kasih saying Allah.


***

Rasulullah SAW pernah berkisah, “Manusia yang mula-mula akan ditanya di hari kiamat adalah tiga orang; Orang pertama adalah orang yang diberi Allah ilmu pengetahuan. Pada waktu Allah Azza wa Jalla bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengan ilmu yang engkau ketahui itu ?” Ia menjawab, “Ya Rabbi, dengan ilmu hamba itu, hamba bangun ditengah malam (untuk shalat malam), lalu hamba berjaga ditepi siang (untuk mengajarkan ilmu kepada orang yang memerlukannya)”.

Allah berfirman “Engkau dusta!” Malaikatpun berkata, “Engkau dusta! Engkau lakukan semua itu hanyalah supaya engkau disebut sebagai orang alim”. Memang demikianlah perkataan orang terhadap dirinya.

Orang kedua adalah seorang laki-laki yang Allah beri harta kekayaan, maka Allah bertanya, “Engkau telah kami beri amanah harta, apakah yang engkau perbuat dengan harta itu?”. Dia menjawab, “Ya Rabbi, harta benda itu semuanya telah hamba sedekahkan pada tengah malam dan siang hari”. Allah berfirman “Engkau dusta!” Malaikatpun berkata, “Engkau dusta! Engkau lakukan semua itu hanyalah supaya engkau dikatakan sebagai seorang dermawan”. Memang demikianlah yang dikatakan orang terhadap dirinya.

Orang ketiga adalah laki-laki yang terbunuh dalam perang mempertahankan agama Allah, maka Allah bertanya, “Apakah yang telah engkau kerjakan?”. Ia menjawab, “Ya Rabbi, Engkau suruh hamba berjihad, maka pergilah hamba kemedan perang, lalu hamba mati terbunuh”. Allahpun berkata. “Engkau dusta!” Dan malaikatpun berkata, “Engkau dusta! Engkau lakukan semua itu hanyalah supaya dikatakan orang bahwa engkau gagah berani”. Memang yang demikianlah perkataan orang terhadap dirinya.

Setelah berkata demikian, Rasulullah SAW melanjutkan, Wahai Abu Hurairah, mereka itulah makhluk yang paling pertama merasakan api neraka jahanam di hari kiamat”.
Menjadi jelas kiranya, ternyata bukan perbuatan manusia yang berdusta, tapi ting dasar tegaknya, yaitu sikap ikhlas dalam amalnya. Bagi seorang hamba ahli ikhlas, apapun yang dilakukannya bebas dari selera rendah, berupa keinginan untuk dihargai, dipuji, dan dihormati. Konsentrasinya seluruh amalnya tertuju hanya kepada Allah semata.

Sumber : Abdullah Symnastiar (MQS pustaka grafika)