Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah
Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh merupakan anugerah yang sangat besar,
karena setiap orang yang dididik langsung oleh Rasulullah pada dasarnya akan
menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.
Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda
kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi dengan konsepsi-konsepsi Islam.
Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan implementasi dari
konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu
perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah
mendarah daging pada diri dan akalnya.
Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri
‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku yang ada pada diri sahabat
Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar biasa antara
pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.
‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang
jujur- ditimpa musibah paling besar yang mungkin menimpa perempuan bermartabat
sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah berat ujian yang ia terima.
Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan sahabat
dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda
yang licik.
Istri seorang Rasul yang sangat disegani
sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan zina. Zina yang dipandang
sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika dilakukan oleh
istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang
berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas
seperti ‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi
sehingga dapat melewati cobaan dengan baik.
Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan
rumit ini? Bagaimana dia menghadapi, melawan, dan mengalahkannya?
Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat
mengambil hikmah, meneladani sikap dan tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi
masalah dan ujian yang dihadapinya.
Masalah dan Cara Menghadapinya
Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan
cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan masalah, ada baiknya mengulas sedikit
mengenai definisi masalah.
Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah.
Hal tersebut seperti bagian dari skenario yang ditentukan اَللّهُ baik untuk
pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau
kesadaran tentang adanya suatu kesulitan yang harus dilewati untuk mencapai
tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat kita berbenturan
dengan realitas yang tidak diinginkan.
Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat
menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap dan pengetahuan agar dapat
menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan tentunya tidak semakin
menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama, bagaimana bersikap dan
bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah.
Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh
waktu, namun terkadang masalah dapat selesai dengan cepat. Bagaimanakah ibunda
‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?
Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita
bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah
dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah peperangan, ‘Aisyah
terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki untanya.
Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang
dengan cepat membakar rerumputan kering.
Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama,
‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena sudah ditinggal rombongan pasukan.
Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui bahkan tidak
terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah
untuk menghadapi dua persoalan tersebut?
Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah
Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan
berarti jika orang yang tertimpa atau memiliki hubungan dengan persoalan
tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah, ia sadar betul akan
adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung yang
hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah
sadar kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia
dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera merasa kalau sedang ada masalah ketika
diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang beredar di masyarakat. Pada
awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas celaan Ummu Misthah
terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk salah satu
sahabat yang ikut dalam perang badar.
Menjaga Emosi dan Tetap Tegar
Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di
saat menghadapi persoalan yang menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala
itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh rombongan pasukan di medan
perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika mendengar isu yang
sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan limbung
atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu,
‘Aisyah tetap sabar karena mengingat firman Allah,
“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik
(buatku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan. (Yusuf [12]:18)
Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin
dengan selalu memohon perlindungan Allah melalui doa, shalat, zikir, berbaik
sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu tentang dirinya,
serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat
berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap
fase penyelesaian masalah.
Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah.
Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah terpukul, tapi ia tetap tidak
kehilangan akal sehat.
Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan
kalau rombongan pasukan memang sudah meninggalkannya, dan ia tertinggal
sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri sendiri kalau sampai
meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan. Sedangkan
terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu
yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan
tuduhan tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
Memikirkan Solusi
‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna
untuk menyelesaikan persoalannya. Yang terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu
adalah sejumlah hal berikut:
1.
Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki
kendaraan, sedang malam sudah gelap dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan
sendirian
2.
Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi
3.
Pergi ke tempat lain
4.
Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan
pasukan atau sebagian mereka akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila
rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu mereka akan segera kembali ke tempat
semula untuk mencari.
5.
Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari
rombongan seperti yang ia alami, atau menunggu seseorang yang mengikuti
rombongan pasukan dari jauh.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang
terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;
1.
Membela diri
2.
Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap
berada di rumahnya. Namun sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah
terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya sudah menyebar luas di
masyarakat
3.
Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan
semuanya kepada Allah
4.
Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi
yang ada
Solusi
‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat
semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian dari mereka kembali lagi
untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu itu, ‘Aisyah menyangka kalau
Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah
langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena anggapan
seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada
isu-isu miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus
rombongan untuk mencari dan membawanya menyusul rombongan.
Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah
meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah keluarganya. Sebab
persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum turun wahyu yang
menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh kepala
dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya
mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera
memenuhi keinginan ‘Aisyah tersebut.
Sumber : Eramuslim.com