Alkisah, disuatu desa ada seorang petani miskin
yang kehilangan kuda satu-satunya. Kuda itu selalu petani gunakan untuk
bekerja. Orang-orang di desanya amat prihatin atas kejadian itu, namun petani
itu hanya katakan, “Alhamdulillah”.
Orang-orang di Desa merasa keanehan dengan petani
itu. Seminggu kemudian kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa
serombongan kuda liar. Kuda-kuda itu disewakan kepada 0rang-orang Desa. Hingga
petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun
mengucapkan selamat kepadanya, namun petani itu hanya katakan, “Alhamdulillah”.
Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat
musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga
patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin atas kejadian itu, tapi
sang petani lagi-lagi hanya mengatakan, “Alhamdulillah”.
Ternyata seminggu kemudian bala tentara masuk ke
desa itu untuk mencari para pemuda untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong
keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si
petani hanya berkata singkat, “Alhamdulillah”.
Cerita diatas menunjukkan kepada kita bahwa apa
yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Sebaliknya, apa yang kelihatan buruk
belum tentu buruk. Sebagaimana dalam Al-Quran : “…boleh Jadi kamu
membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui” (Q.S Al-Baqarah : 216)
Dalam Aspek da’wah yang dilakukan petani
pada cerita diatas merupakan aspek da’wah nafsiyah. Terbukti saat petani
itu dikenai beragam musibah dan beragam anugrah, petani itu mengatakan “Alhamdulillah”.
“Alhamdulillah” kata yang singkat namun berarti sebagai pengobat untuk
kejadian-kejadian yang menimpa. Inilah sifat yang perlu dimiliki oleh da’i,
pada saat terpojokan oleh masalah-masalah maka jalan keluarnya adalah katakan “Alhamdulillah”
suatu kata yang menandai dikembalikannya seluruh kejadian kepada Allah Swt.
Dalam hal ini Allah Swt mengingatkan, sebagai berikut : ” Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian
kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan ”. (Q.S Al Jaatsiyah : 15)
Pada surat dan ayat yanng lain disebutkan pula : ”Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri;
dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” (Q.S. Fushshilat :
46)
Orang yang bersyukur tidak terganggu dengan apa
yang terjadi menimpanya karena ia selalu menerima apa saja yang ia dapati.
Serta apa yang dilakukan oleh kita sesungguhnya, itu kembali kepada kita
termasuk saat kita bersyukur. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran : “Bersyukurlah
kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S Luqman : 12)
Jika dikaitkan dengan kajian Teori Bimbingan
Konseling cerita diatas senada dengan konsep Analisis Transaksional yang
dikemukakan oleh Eric Bern. Dimana petani meskipun ia adalah orang tua akan
tetapi ia dapat mengendalikan Egonya pada “Ego Dewasa” yang mana Ego dewasa
bercirikan bijaksana, proporsional, fleksibel, dan bertanggung jawab.
Sumber : Eramuslim, Senin, 10 Rajab 1434 H / 20 Mei 2013