Memelihara Moment Ramadhan
“Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat , menjadi cerai berai kembali” (QS. An Nahl (16) : 92)
Ramadhan datang, Ramadhan pergi. Begitulah sunnatullah yang berlaku pada kehidupan alam semesta ini. Keadaan yang melingkupi diri seorang mu’min dari Ramashan ke Ramadhan berikutnya pun hampir pasti berbeda-beda.
Kesadaran Hakiki
Hampir merata setiap mu’min terpanggil dan tergugah kesadaran hakikinya sebagai hamba Allah SWT, begitu Ramadhan datang, gegap gempita kaum mu’minin seantero dunia dalam menyambut dan mengisi bulan suci Ramadhan adalah merupakan indikasi yang paling mudah dibaca. Masjid penuh sesak, tilawah Al Qur’an yang menggema membahana naik ke langit dari hampir setiap rumah tangga mu’min, bahkan dari kantor, stasiun dan pasar sekalipun. Busana muslimah yang rapi dan anggun mewarnai hampir setiap komunitas termasuk komunitas sinetron dan bisnis. Kesalehan sosialpun segera tampak, dari sejak memberi makan berbuka (ifthar ash-sha’imin) sampai berbagai bentuk kepedulian sosial yang lebih berkualitas. Jangan lagi dipertanyakan kajian-kajian keislaman yang beragam dan semakin intens saja. Dan mata pun begitu murah dan gampang berurai berlinang air mata. Bi Dumuw’i Al iman Nastaqbil Ramadhan (Dengan airmata iman kita sambut dan jalani Ramadhan) begitu judul buku yang ditulis oleh syaikh Sulaiman Abdul Karim Al-Mufrij.
Tntu, itu semua tidak menafikan adanya sebagian mu’minin yang merasa terpasung dan terpenjara oleh Ramadhan, yang melewati hari-hari Ramadhan dengan rasa kesal, sesak nafas, menggerutu dan berbagai sumpah serapah, Na’udzubillah min dzalik.
Peningkatan Siklikal
Ssudah Ramadhan berlalu, adakah telah terjadi peningkatan kualitas diri seorang mu’min secara signifikan?.
Ayat diatas (QS. 16:92) sesungguhnya memberikan peringatan dini terhadap setiap mu’min agar tidak bersikap dan berlaku naif, ibarat perempuan yang memintal, menenun benang helai demi helai, berhari-hari, berpekan bahkan berbulan-bulan hingga menjadi kain yang kuat dan indah. Bisa bermanfaat untuk berbagai jenis pakaian dan asesoris,etapi tiba-tiba menguraikannya kembali helai demi helai terburai tak menentu bahkan menjadi benang kusut tak bernilai lagi sama sekali. Segalanya hilang percuma.
Dalam konteks shaum (puasa), peningkatan seperti ini adalah peningkatan siklikal, amalan-amalan meningkat tinggi dan bahkan drastis tetapi usai Ramadhan turun drastis pula, maka setiap Ramadhan memulai dari nol, Nol Besar.
Inilah kondisi buruk seorang mu’min yang apa boleh dikata-diaminkan Rasulullah SAW sebagai orang yang rugi (ketika Jibril a.s. memnberitakan kondisi itu kepada Rasul).
Rugi bagi seseorang yang (dalam hidupnya) dilewati bulan Ramadhan, hingga Ramadhan kemudian berlalu, ia tidak diampunkan dosanya oleh Allah SWT (HR. Bukhari dan Baihaqi)
Dalam konteks dakwah dan amal jama’i kondisi ini dilukiskan seorang penyair : Kapan sebuah bangunan mencapai hari selesainya? Jika anda membangunnya, selain anda menghancurkannya.
Peningkatan Struktural
Maka, peningkatan kualitas yang mesti diupayakan oleh diri seorang mu’min dengan ibadah shaum dan ibadah-ibadah lain yang menyertainyaadalah peningkatan struktural (Al-irtifaa at-tashaa’udy), peningkatan secara berjenjang, ibarat struktur anak tangga. Jangan lagi mulai dari Nol, artinya setelah gegap gempita amaliah satu Ramadhan, menurun normal pada bulan Syawal, tetapi naik dari nol ke anak tangga satu, posisi anak tangga satu (dari bawah) dijaga sepanjang bulan-bulan berikutnya. Jika Ramadhan datang lagi mulai dari satu dan bukan dari nol lagi. Begitu seterusnya, meningkat secara terstruktur. Rindu lagi Ramadhan, meminjam ungkapan puitis Taufiq Ismail, menjadi lebih bermakna.
Memelihara Moment Ramadhan
Ramadhan adalah moment ketaatan dan kepatuhan hamba, moment taqarrub ilallah, moment kepedulian sosial dan moment pembelaan terhadap kesucian Al Islam dan masa depannya. Moment-moment imani (Mawaqif imaniyah0 ini haruslah dijaga seterusnya.
Allah Yang Maha Mengetahui dan Menghitun
g amal manusia di bulan Ramadhan, DIA jugalah yang berkuasa menghitung segala amal hamba-Nya dibulan-bulan lainnya. Tak terjadi pergeseran penguasa. Penguasa tunggal : ALLAH SWT. Secara deskriptif pemeliharaan moment-moment itu bisa dilakukan melalui antara lain :
1. Al Iltizam bi shalatil jama’ah fil masjid (komitmen dengan shalat jamaah 5 waktu di masjid)
2. Mudawamatu tilawatil Qur’an (Melestarikan baca dan tadabbur Al Qur’an)
3. Mudawamatu qiyami’l-lail (Melestarikan shalat malam atau tahajud)
4. Hifdzul lisan wal bashar wal faraj (Menjaga lisan, mata dan kehormatan)
5. Al Inayah bil mustadh-afin (Peduli terhadap yang lemah dan dilemahkan)
6. al Hirsh ’alal ’ulumin-mafi’ah (Rajin berusaha menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat)
7. Ad Da’wah ilallah wa ad-difa’ ’anil Islam (Dakwah ilallah dan membela al Islam)
8. Iftinabul Ma’ashi wal unkarat (Menjauhi berbagai kemaksiatan dan kemungkaran)
9. At-Tawarru’ ’anisy-syubuhat (Memelihara diri dari segala samar/bias)
10. Muzawalatu ruhit Tadhhiyah wal itsar (Terus melatih memupuk semangat berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain)
Konsistensi wajah dan wijhah menuju dien yang benar dan lurus, yang telah terbina baik sepanjang Ramadhan, sudah barang pasti haruslah dijaga.
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah): (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum : 30)
Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan mereguk kenikmatan surgawi Ramadhan tahun depan, amin ya Rabbal ’alamin. Wallahu a’lam bi shawab.
Sumber : Muzayyin Abdul Wahhab (Intisari khutbah Idul Fitri 1426 H di kedubes Malaysia).
0 komentar:
Posting Komentar