“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar neneliharanya” (QS. Al- Hijr :9)
Janji Allah ini mestinya membuat setiap muslim makin dekat dengan Al Qur’an dan makin beriman kepada Allah. Karena melalui ayat ini, Allah SWT seolah-olah berbicara langsung kepada manusia dan menjawab keraguan sebagian manusia yang tidak atau belum percaya sepenuhnya dengan Al Qur’an.
Salah satu metode menjaga kemurnian Al Qur’an adalah melalui mekanisme penghafalan dan penulisan. Banyak penghafal Al Qur’an yang langsung menghafal dan mengingat ayat-ayat yang baru diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Para penghafal ini disebut Hafidz Al Qur’an, dan hingga kini tradisi penghafalan tersebut masih terus berlangsung dalam masyarakat islam.
Mekanisme lain adalah penulisan. Ayat-ayat yang baru turun langsung dicatatkan dikulit kayu, batu yang tipis dan licin, pelapah tamar (korma), kulit binatang, kepingan tulang atau media sederhana lainnya. Penulisan ini umumnya dilakukan oleh Zaid bin Tsabit. Penulis-penulis lain yang terkenal adalah Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Begitu suatu ayat diturunkan, Nabi aka menyuruh agar ayat tersebut dihafal dan dituliskan, untuk kemudian disusun dalam urutan-urutan setiap ayat dalam suratnya. Nabi membuat peraturan bahwa hanya Al Qur’an saja yang boleh dituliskan. Selain dari itu, yakni hadits dan pelajaran-pelajaran yang didengar dari mulut Nabi dilarang dituliskan. Larangan ini dimaksudkan agar Al Qur’an terpelihara kemurniannya, tidak tercampur aduk dengan hal-hal yang didengar oleh umat islam dari Nabi. Selain dihafal dan dituliskan, Nabi juga memerintahkan agar ayat-ayat tersebut selalu dibaca dan diwajibkan membacanya dalam shalat. Dengan Metode ini banyak umat islam yang mampu menghafal Al Qur’an.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-shidiq, naskah yang terpisah-pisah tersebut dikumpulkan. Hal ini diawali dengan kekhawatiran Umar bin Khattab menyusul tewasnya sejumlah penghafal Al Qur’an dalam perang Yamamah yang berlangsung tak lama setelah kematian Nabi SAW. Melihat kenyataan ini, umar menjadi risau akan masa depan Al Qur’an. Oleh karenanya, ia lalu mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar as-shidiq agar tulisan-tulisan ayat-ayat Al Qur’an yang pernah ditulis semasa hidup Rasul dikumpulkan. Abu Bakar mulanya ragu untuk menerima usulan Umar, sebab pengumpulan seperti yang dimaksudkan Umar tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, Umar akhirnya dapat meyakinkan Abu Bakar akan pentingnya upaya pengumpulan tersebut. Keduanya lalu sepakat untuk membentuk tim yang diketuai Zaid bin Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas berat tersebut.
Serupa dengan Abu Bakar, Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat dan ragu untuk menerima tugas tersebut. Barulah setelah diyakinkan, Zaid mau menerima tawaran tersebut. Dengan dibantu beberapa orang sahabat Nabi, Zaid memulai tugasnya. Sementara itu, Khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membawa naskah tulisan Al Qur’an yang mereka miliki ke mAsjid Nabawi, untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Sebagai panduan kerja bagi Zaid, Abu Bakar memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima naskah yang tidak mampu memenuhi dua syarat, yakni : pertama, harus sesuai dengan hafalan sahabat lain. Kedua, tulisan tersebut benar-benar tulisan yang ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW dan dituliskan dihadapan beliau. Sementara itu, untuk memenuhi kedua syarat tersebut harus terdapat dua saksi mata.
Dengan sangat teliti dikumpulkannya ayat-ayat Al Qur’an untuk ditulis dalam lembaran-lembaran kertas yang disebut shuhuf-shuhuf. Lembaran-lembaran tersebut setelah diikat dan disusun menurut urutan-urutan ayatnya seperti yang ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar hingga saat wafatnya, sehingga dipindahkan kerumah Umar bin Khattab. Setelah khalifah kedua ini wafat, naskah tersebut dipindahkan kerumah putrid Umar, Hafsah, yang juga adalah istri Rasulullah SAW
Semasa kepemimpinan Utsman bin Affan, timbul perbedaan dikalangan umat islam mengenai soal Qira’ah (cara membaca Al Qur’an). Hal ini disebabkan karena masing-masing kabilah membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Sebab timbulnya variasi pelafalan ini dapat dirunut kebelakang kepada kelonggaran yang diberikan oleh rasulullah SAW, dalam membaca dan melafalkan Al Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah mereka menghafal Al Qur’an.
Menanggapi kenyataan ini, Huzaifah bin Yaman mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Qur’an dengan membuat mush-haf Al Qur’an standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat islam di berbagai wilayah. Khalifah Utsman lalu membentuk sebuah panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit (ketua), Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam. Untuk keperluan penyalinan tersebut, lembaran-lembaran yang ada pada hafsah diminta untuk kemudian disalin menurut dialek Quraisy (Catatan : Al Qur’an diturunkan melalui dialek Quraisy).
Setelah proses penyalinan selesai, Al Qur’an yang berbentuk buku ini dinamakan Al-Mushhaf Utsmani, dengan lima salinan. Empat salinan dikirim ke Mekkah, Syria, Basrah dan Kufah, untuk dibuatkan salinan berikutnya dari Al-Mushhaf, satu salinan tetap berada di Madinah dikenal sebagai Mushhaf Al Imam untuk Khalifah Utsman sendiri. Langkah Utsman selanjutnya adalah mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Dari Mushhaf yang ditulis semasa pemerintahan Utsman itulah umat islam kemudian membuat salinan Al Qur’an berikutnya, hingga kini.
Mushhaf ini membawa kegunaan besar bagi umat Muslim karena menyatukan umat Muslim pada satu macam Mushhaf dengan ejaan tulisan yang seragam. Mushhaf inipun berperan besar dalam menyatukan bacaan Al Qur’an. Kendatipun masih terdapat perbedaan bacaan, namun kesemuanya tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf Utsmani. Sementara itu bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf Utsman tidak diperbolehkan lagi. Makna penting lain yang dibawa oleh Mushhaf Utsmani adalah penyeragaman urutan surat-surat sebagaimana yang kita dapati dewasa ini.
Hal ini telah ditegaskan sendiri oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr : 9).
Para Penjaga Al Qur’an
Para penjaga Al Qur’an yang disebut dengan hafidz dan hafidzah selalu ada sepanjang zaman, mulai dari zaman Rasulullah SAW., Khulafaur Rasyidin, Tabi’in dan Tabi’t Tabi’in. Mereka sengaja dikirim oleh Allah SWt untuk menjaga kemurnian Al Qur’an dari orang-orang yang sengaja berupaya untuk menyimpangkan isi Al Qur’an. Kita mengenal Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas para penghafal Al Qur’an di masa Rasulullah SAW.
Pada masa-masa setelah itu, para penghafal Al Qur’an selalu ada pada setiap zaman. Di antara mereka ada Ibnu Taimiyah, seorang pemikir islam yang sangat terkenal. Kecemerlangan otaknya sudah tampak pada usia belia. Al Qur’an sudah mampu dihafalkannya sewaktu usianya belum baligh. Bahkan, pada usia 22 tahun Ibnu Taimiyah sudah mengajar diperguruan Darul Hadits Al-Syukriyyah, sekolah ternama yang hanya mau menerima tenaga pengajar pilihan.
Selain itu, ada Ibnu Sina yang berhasil menghafal seluruh Al Qur’an pada usia sepuluh tahun, Ibnu Sina dikenal sebagai orang yang gemar menimba ilmu. Beliau tidak akan tidur malam, kecuali setelah banyak membaca. Dan tidak akan siang, kecuali setelah mendapat ilmu pengetahuan pada hari itu, Ibnu Sina berhasil menguasai ilmu fiqih dan filsafat pada usia 18 tahun.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, yang telah dikenal dengan Imam Hambali, hafal Al Qur’an pada usia 14 tahun. Beliaulah yang tetap konsisten mengatakan, “Al Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk,” meski siksaan mendera dirinya.
Imam Syafi’i yang bernama Muhammad bin Idris hafal Al Qur’an 30 juz pada usia sembilan tahun. Umur 19 tahun telah mengerti isi kitab Al Muwatha’, karangan Imam Malik, tidak lama kemudian Al Muwatha’ telah dihafalnya. Kitab Al Muwatha’ tersebut berisi hadits-hadits Rasulullah SAW., yang dihimpun oleh Imam Malik, karena kecerdasannya, pada umur 15 tahun beliau telah diizinkan memberi fatwa dihadapan masyarakat dan menjadi mufti di Masjidil Haram.
Zaman modern sekarang ini, kita mengenal Abdullah bin Muhammad Jabr, lahir di kota Wadi Jadid Mesir 29 Syawal 1405H (7 Juli 1985). Dia selesai menghafal Al Qur’an 30 juz pada usia tujuh tahun, tepatnya pada tanggal 10 September 1992. Setelah itu, Abdullah menghafal Asy-Syarif dimulai dengan menghafal Arbain Nawawi. Selanjutnya pada 6 Juli 1994, Ia menyelesaikan hafalan kitab Al-Lu’lu-u Wal Marjan yang direkomendasikan oleh Syekh Bukhari Muslim. Abdullah terus berpacu dengan waktu, Ia pun berhasil menghafal Mukhtashar Shahih Bukhari yang disusun oleh Az Zabidi dan menghafal Mukhtashar Shahih Muslim yang disusun oleh Munziri. Selanjutnya berturut-turut, Abdullah menghafal Matan Bikuniyah dalam Ilmu Hadits; menghafal Manzuma Sullamul Wushul ila ‘ilmil Ushul. Saat ini Abdullah sedang menghafal Matan Syatibiyah dalam Qira’at Sab’ah dan telah selesai dua pertiganya.
Kitapun bisa menjaga Al Qur’an. Kalaupun sulit, semoga kita termasuk orang-orang yang termotivasi untuk mendidik anak-anak kita menjadi penjaga Al Qur’an. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : Syamsu Hilal : Buletin Jum’at Bapekis 1425H
Janji Allah ini mestinya membuat setiap muslim makin dekat dengan Al Qur’an dan makin beriman kepada Allah. Karena melalui ayat ini, Allah SWT seolah-olah berbicara langsung kepada manusia dan menjawab keraguan sebagian manusia yang tidak atau belum percaya sepenuhnya dengan Al Qur’an.
Salah satu metode menjaga kemurnian Al Qur’an adalah melalui mekanisme penghafalan dan penulisan. Banyak penghafal Al Qur’an yang langsung menghafal dan mengingat ayat-ayat yang baru diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Para penghafal ini disebut Hafidz Al Qur’an, dan hingga kini tradisi penghafalan tersebut masih terus berlangsung dalam masyarakat islam.
Mekanisme lain adalah penulisan. Ayat-ayat yang baru turun langsung dicatatkan dikulit kayu, batu yang tipis dan licin, pelapah tamar (korma), kulit binatang, kepingan tulang atau media sederhana lainnya. Penulisan ini umumnya dilakukan oleh Zaid bin Tsabit. Penulis-penulis lain yang terkenal adalah Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Begitu suatu ayat diturunkan, Nabi aka menyuruh agar ayat tersebut dihafal dan dituliskan, untuk kemudian disusun dalam urutan-urutan setiap ayat dalam suratnya. Nabi membuat peraturan bahwa hanya Al Qur’an saja yang boleh dituliskan. Selain dari itu, yakni hadits dan pelajaran-pelajaran yang didengar dari mulut Nabi dilarang dituliskan. Larangan ini dimaksudkan agar Al Qur’an terpelihara kemurniannya, tidak tercampur aduk dengan hal-hal yang didengar oleh umat islam dari Nabi. Selain dihafal dan dituliskan, Nabi juga memerintahkan agar ayat-ayat tersebut selalu dibaca dan diwajibkan membacanya dalam shalat. Dengan Metode ini banyak umat islam yang mampu menghafal Al Qur’an.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-shidiq, naskah yang terpisah-pisah tersebut dikumpulkan. Hal ini diawali dengan kekhawatiran Umar bin Khattab menyusul tewasnya sejumlah penghafal Al Qur’an dalam perang Yamamah yang berlangsung tak lama setelah kematian Nabi SAW. Melihat kenyataan ini, umar menjadi risau akan masa depan Al Qur’an. Oleh karenanya, ia lalu mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar as-shidiq agar tulisan-tulisan ayat-ayat Al Qur’an yang pernah ditulis semasa hidup Rasul dikumpulkan. Abu Bakar mulanya ragu untuk menerima usulan Umar, sebab pengumpulan seperti yang dimaksudkan Umar tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, Umar akhirnya dapat meyakinkan Abu Bakar akan pentingnya upaya pengumpulan tersebut. Keduanya lalu sepakat untuk membentuk tim yang diketuai Zaid bin Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas berat tersebut.
Serupa dengan Abu Bakar, Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat dan ragu untuk menerima tugas tersebut. Barulah setelah diyakinkan, Zaid mau menerima tawaran tersebut. Dengan dibantu beberapa orang sahabat Nabi, Zaid memulai tugasnya. Sementara itu, Khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membawa naskah tulisan Al Qur’an yang mereka miliki ke mAsjid Nabawi, untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Sebagai panduan kerja bagi Zaid, Abu Bakar memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima naskah yang tidak mampu memenuhi dua syarat, yakni : pertama, harus sesuai dengan hafalan sahabat lain. Kedua, tulisan tersebut benar-benar tulisan yang ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW dan dituliskan dihadapan beliau. Sementara itu, untuk memenuhi kedua syarat tersebut harus terdapat dua saksi mata.
Dengan sangat teliti dikumpulkannya ayat-ayat Al Qur’an untuk ditulis dalam lembaran-lembaran kertas yang disebut shuhuf-shuhuf. Lembaran-lembaran tersebut setelah diikat dan disusun menurut urutan-urutan ayatnya seperti yang ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar hingga saat wafatnya, sehingga dipindahkan kerumah Umar bin Khattab. Setelah khalifah kedua ini wafat, naskah tersebut dipindahkan kerumah putrid Umar, Hafsah, yang juga adalah istri Rasulullah SAW
Semasa kepemimpinan Utsman bin Affan, timbul perbedaan dikalangan umat islam mengenai soal Qira’ah (cara membaca Al Qur’an). Hal ini disebabkan karena masing-masing kabilah membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Sebab timbulnya variasi pelafalan ini dapat dirunut kebelakang kepada kelonggaran yang diberikan oleh rasulullah SAW, dalam membaca dan melafalkan Al Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah mereka menghafal Al Qur’an.
Menanggapi kenyataan ini, Huzaifah bin Yaman mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Qur’an dengan membuat mush-haf Al Qur’an standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat islam di berbagai wilayah. Khalifah Utsman lalu membentuk sebuah panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit (ketua), Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam. Untuk keperluan penyalinan tersebut, lembaran-lembaran yang ada pada hafsah diminta untuk kemudian disalin menurut dialek Quraisy (Catatan : Al Qur’an diturunkan melalui dialek Quraisy).
Setelah proses penyalinan selesai, Al Qur’an yang berbentuk buku ini dinamakan Al-Mushhaf Utsmani, dengan lima salinan. Empat salinan dikirim ke Mekkah, Syria, Basrah dan Kufah, untuk dibuatkan salinan berikutnya dari Al-Mushhaf, satu salinan tetap berada di Madinah dikenal sebagai Mushhaf Al Imam untuk Khalifah Utsman sendiri. Langkah Utsman selanjutnya adalah mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Dari Mushhaf yang ditulis semasa pemerintahan Utsman itulah umat islam kemudian membuat salinan Al Qur’an berikutnya, hingga kini.
Mushhaf ini membawa kegunaan besar bagi umat Muslim karena menyatukan umat Muslim pada satu macam Mushhaf dengan ejaan tulisan yang seragam. Mushhaf inipun berperan besar dalam menyatukan bacaan Al Qur’an. Kendatipun masih terdapat perbedaan bacaan, namun kesemuanya tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf Utsmani. Sementara itu bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf Utsman tidak diperbolehkan lagi. Makna penting lain yang dibawa oleh Mushhaf Utsmani adalah penyeragaman urutan surat-surat sebagaimana yang kita dapati dewasa ini.
Hal ini telah ditegaskan sendiri oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr : 9).
Para Penjaga Al Qur’an
Para penjaga Al Qur’an yang disebut dengan hafidz dan hafidzah selalu ada sepanjang zaman, mulai dari zaman Rasulullah SAW., Khulafaur Rasyidin, Tabi’in dan Tabi’t Tabi’in. Mereka sengaja dikirim oleh Allah SWt untuk menjaga kemurnian Al Qur’an dari orang-orang yang sengaja berupaya untuk menyimpangkan isi Al Qur’an. Kita mengenal Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas para penghafal Al Qur’an di masa Rasulullah SAW.
Pada masa-masa setelah itu, para penghafal Al Qur’an selalu ada pada setiap zaman. Di antara mereka ada Ibnu Taimiyah, seorang pemikir islam yang sangat terkenal. Kecemerlangan otaknya sudah tampak pada usia belia. Al Qur’an sudah mampu dihafalkannya sewaktu usianya belum baligh. Bahkan, pada usia 22 tahun Ibnu Taimiyah sudah mengajar diperguruan Darul Hadits Al-Syukriyyah, sekolah ternama yang hanya mau menerima tenaga pengajar pilihan.
Selain itu, ada Ibnu Sina yang berhasil menghafal seluruh Al Qur’an pada usia sepuluh tahun, Ibnu Sina dikenal sebagai orang yang gemar menimba ilmu. Beliau tidak akan tidur malam, kecuali setelah banyak membaca. Dan tidak akan siang, kecuali setelah mendapat ilmu pengetahuan pada hari itu, Ibnu Sina berhasil menguasai ilmu fiqih dan filsafat pada usia 18 tahun.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, yang telah dikenal dengan Imam Hambali, hafal Al Qur’an pada usia 14 tahun. Beliaulah yang tetap konsisten mengatakan, “Al Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk,” meski siksaan mendera dirinya.
Imam Syafi’i yang bernama Muhammad bin Idris hafal Al Qur’an 30 juz pada usia sembilan tahun. Umur 19 tahun telah mengerti isi kitab Al Muwatha’, karangan Imam Malik, tidak lama kemudian Al Muwatha’ telah dihafalnya. Kitab Al Muwatha’ tersebut berisi hadits-hadits Rasulullah SAW., yang dihimpun oleh Imam Malik, karena kecerdasannya, pada umur 15 tahun beliau telah diizinkan memberi fatwa dihadapan masyarakat dan menjadi mufti di Masjidil Haram.
Zaman modern sekarang ini, kita mengenal Abdullah bin Muhammad Jabr, lahir di kota Wadi Jadid Mesir 29 Syawal 1405H (7 Juli 1985). Dia selesai menghafal Al Qur’an 30 juz pada usia tujuh tahun, tepatnya pada tanggal 10 September 1992. Setelah itu, Abdullah menghafal Asy-Syarif dimulai dengan menghafal Arbain Nawawi. Selanjutnya pada 6 Juli 1994, Ia menyelesaikan hafalan kitab Al-Lu’lu-u Wal Marjan yang direkomendasikan oleh Syekh Bukhari Muslim. Abdullah terus berpacu dengan waktu, Ia pun berhasil menghafal Mukhtashar Shahih Bukhari yang disusun oleh Az Zabidi dan menghafal Mukhtashar Shahih Muslim yang disusun oleh Munziri. Selanjutnya berturut-turut, Abdullah menghafal Matan Bikuniyah dalam Ilmu Hadits; menghafal Manzuma Sullamul Wushul ila ‘ilmil Ushul. Saat ini Abdullah sedang menghafal Matan Syatibiyah dalam Qira’at Sab’ah dan telah selesai dua pertiganya.
Kitapun bisa menjaga Al Qur’an. Kalaupun sulit, semoga kita termasuk orang-orang yang termotivasi untuk mendidik anak-anak kita menjadi penjaga Al Qur’an. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : Syamsu Hilal : Buletin Jum’at Bapekis 1425H
0 komentar:
Posting Komentar