“Ya Allah, hamba memohon kehadirat-Mu kesehatan yang prima, kehormatan diri, sifat amanah dan budi pekerti yang baik, serta perasaan ridho terhadap qadar.” (HR. Imam al-Bazzar dan al-Khara’ithi dalam Makarimul Akhlaq, Thabarani dalam al-kabir dari Ibnu ‘Amr dan Ibnu Qani’ dari Zayd bin Kharijah. Hadits Hasan, sebagaimana tercantum dalam Faidhul Qadir, Imam al-Manawi, Huz 11:139 no.1519)
Dari sudut ajaran, bisa disebut dienul Islamlah yang paling banyak menganjurkan penganutnya untuk senantiasa menjaga kesehatan. Meskipun ditingkat pelaksanaan, dengan jujur harus diakui, tingkat kesehatan kaum muslimin masih memprihatinkan. Karena kesehatan memeng berhubungan dengan ekonomi, gaya hidup dan tingkat pendidikan.
Kesehatan bagi orang mu’min adalah ruh ilmu, iman dan amal. Manusia punya tugas dan sekian banyak kewajiban, dimana kesehatan adalah nikmat, sedang badan adalah amanah yang harus dijaga agar tetap prima dan sukses dalam menunaikan tugas. Sebab ketika sakit, tentu saja pelaksanaan ilmu dan amal seorang muslim menjadi tidak sempurna. Padahal ilmu dan amal adalah dua hal utama dalam meningkatkan iman dan taqwa seorang muslim, secara signifikan. Amal qawli yang lisani maupun amal fi’il yang arkani, ketika sakit jelas terganggu, sedang keduanya hampir tak pernah lepas dari keseharian orang mukmin.
Sakit juga menyebabkan pekerjaan sehari-hari terbengkalai, tugas-tugas pentingpun terlantar, jadwal kegiatan berantakan, janji- janji menjadi tertunda. Sakit membuat segala aktifitas nyaris lumpuh, kenyamanan kita terusik. Sakit mempengaruhi laju perkembangan keuangan atau roda ekonomi keluarga. Dan dalam sakit itu tiba-tiba kita merasa ada nikmat yang hilang dalam diri kita yaitu nikmat sehat.
Sehat dan waktu luang memang tergolong nikmat Allah yang paling sering diabaikan oleh manusia dimuka bumi ini. Dua nikmat ini umumnya baru terasa setelah kita sakit, kendati kesadaran itu banyak dibalut oleh perasaan kecewa bercampur risau dengan sedikit rasa penyesalan yang meskipun belum terlambat. Dan disinilah lidah manusia sering keseleo “memprotes takdir” akibat cerobor dalam ilmu disamping tidak yakin dengan sandaran tawakalnya. Hatinya mengerutu, mulutnya jadi comel, perasaan jadi dongkol dan serba minta dilayani.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan, Rasululloh saw bersabda : “Ada dua nikmat yang selalu diabaikan oleh orang banyak, yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang.” (HR. Bukhari, Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada sisi ini sehat adalah mahkota bagi kehidupan manusia yang setiap waktu harus dijaga. Melepaskan mahkota kesehatan berarti menjerumuskan hidupnya pada kesengsaraan. Ibadah jadi tidak nyaman, dikerjakan tidak sebagaimana ketika sehat. Meskipun sebenarnya sakit adalah bagian dari sunatullah dan qadha’ kehidupan yang Allah turunkan sebagai ujian dan penebus dosa orang-orang mukmin.
Dalam Akhlaq islam, sehat termasuk dalam 4 (empat) macam kategori nikmat yang menjadi kata kunci penentu bahagia tidaknya seseorang. Empat nikmat itu adalah : pertama : Keutamaan jiwa (fadha’il an-nafs) terletak pada iman dan akhlaq karimah (husnul khuluq). kedua : Keutaman badan (fadha’il al-badan) terletak pada kesehatan fisik dengan segala bagiannya. ketiga : Keutamaan penyerta bagi badan (an-Ni’am al-Muthifah bi al-Badan) terletak pada harta, ketekunan dan keseriusan, juga keahlian (sandang, pangan dan papan). keempat : Faktor pendukung lain yang sejenis, seperti factor hidayah, petunjuk dan bantuan dari Allah disamping tentunya dukungan usaha dari manusia.
Ringkasnya, sehat hendaknya menjadi gaya hidup dan tingkah laku sehari-hari masyarakat dalam melakukan segaa aktifitas. Seseorang disebut sehat manakala pola hidup kesehariannya berdasarkan aturan, baik aturan agama, aturan Negara (hokum) dan aturan kesehatan (lingkungan). Dari sini makin terasa bahwa sehat adalah kebutuhan dasar yang harus diperjuangkan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 1994 memberikan batasan sehat pada empat dimensi : sehat dalam arti fisik (tubuh), sehat dalam arti psikologik (mental), sehat dalam arti sosial (hubungan kemasyarakatan) dan sehat dalam arti spiritual (agama). Semua dimensi sehat itu umumnya dipengaruhi oleh cara pandang kehidupan seseorang baik terhadap pedoman hidup, tujuan hidup, dasar hidup, kawan dan lawan hidup. Gaya hidup juga dipengaruhi oleh kemajuan infrastruktur dan fasilitas modern yang dimiliki, disamping tentunya latarbelakang agama, pendidikan, etnis dan lingkungan tempat tinggal.
Undang-undang No.23 tahun 1992 mendefinisikankesehatan dengan standar “Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Atas dasar definesi UU kesehatan ini, maka manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (bokistik), mwliputi sehat jasmaniah (organobiologik), sehat jiwa (psikoedukatif) dan sehat secara social (sosio cultural).. Semua dimensi sehat baik dari WHO maupun UU kesehatan ini menjadi bermakna dan punya nilai jika paying agama (dienul islam) menjadi ukuran utamanya.
Salah satu cara untuk mencapai jiwa yang sehat adalah dengan penilaian diri, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya yang berkaitan erat dengan tiga cara : cara berfikir, cara berperan dan cara bertindak. Sebaliknya penilaian diri seseorang dipandang negative (baca : tidak waras) apabila seseorang cenderung merasa hidup ini sulit dikendalikan, selalu memikirkan kegagalan, merasa stress dan selalu menghindari tantangan hidup.
Salah seorang sahabat Rasululloh saw yang sangat peduli terhadap kesehatan adalah Ibnu Umar ra. Ibnu Umar ra adalah sosok sahabat yang sangat tinggi penjagaannya terhadap halal-haram baik dalam memilih makanan mulai dari status halalan thayyibannya sampai pada jenis makanan itu sendiri.. Ibnu Umar ra suka melakukan relaksasi berfikir menjelang tidur, mencontoh pola muhasabah yang dilakukan ayahnya, Umar bin Khatthab ra. Semoga Anda juga demikian, Insyaallah.
Sumber : Buletin Dakwah No.30 th.33 – 3 Rajab 1427H/28 Juli 2006M