Tak terasa, ternyata sudah satu tahun lebih peristiwa tsunami melanda bumi Nangro Aceh Darussalam. Namun bekas-bekas kedahsyatan dan kepedihan itu terasa masih menyisakan sebuah cerita dan ibroh (pelajaran) bagi kita semua. Kemudian disusul pula dengan musibah-musibah yang datang silih berganti yang seakan tak kunjung reda. Mulai dari virus yang mewabah (flu burung), banjir, tanah longsor, kenaikan BBM sampai dengan pengeboman. Menyikapi ini semua, apakah kita hendak menyiram bibit kebencian kepada sang Pencipta dan menisbatkan seluruh kejadian tersebut karena ketidakadilan Alloh -naudzu billah!!-, ataukah kita memukul dan merobek baju dengan wajah merah padam tanda kurang sabar? Ketika dalam kondisi terjepit demikianlah seorang muslim diuji, dituntut untuk bersikap dengan benar.
Uraian singkat berikut ini semoga dapat memberikan bimbingan agar kita dapat bersikap dan melangkah sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya shollallohu’alaihi wa salam.
Hakekat Kesabaran
Sabar, secara bahasa berarti mencegah atau menahan. Menurut syariat, sabar berarti menahan jiwa dari rasa keluh kesah, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian atau pun ungkapan-ungkapan kesedihan lain.
Macam-Macam Kesabaran
Ditinjau dari obyeknya maka kesabaran itu terbagi menjadi tiga; Sabar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, sabar dalam meninggalkan larangan-larangan Allah dan sabar terhadap musibah-musibah yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala.
Ditinjau dari sisi lain, sabar dibagi menjadi dua; Sabar ikhtiyari (dapat memilih) dan sabar idhthiroori (tidak ada pilihan lain). Jenis sabar terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah adalah termasuk pada jenis sabar ikhtiyari, karena pelakunya dapat memilih dan mengusahakannya. Sedang sabar terhadap musibah adalah termasuk jenis sabar idhthiroori, karena pelakunya tidak memiliki pilihan selainnya. Yakni ketika mendapatkan musibah maka tidak ada pilihan lain bagi dia kecuali harus bersabar. Apabila tidak bersabar, maka dia justru mendapat dua keugian, yakni musibah itu sendiri dan tidak mendapatkan pahala dengan musibah tersebut.
Sabar jenis pertama lebih utama daripada jenis sabar yang kedua. Itulah sebabnya sabarnya nabi Yusuf terhadap godaan istri tuannnya itu lebih utama dari pada sabarnya beliau ketika dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya.
Hakekat Ujian dan Musibah
Dengan menyadari hakekat sebenarnya dari ujian dan musibah, maka kita diharapkan memiliki cara pandang yang benar tentang ujian dan musibah. Sehingga hal itu dapat mengantarkan pada keyakinan dan sikap yang benar.
1. Meyakini bahwa semuanya datang dari Allah.
Allah berfirman, yang artinya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS: Al Hadid: 22)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. “ (QS: Al Baqoroh: 155-156)
Rosululloh shollallohu’alaihi wa salam bersabda, yang artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya apabila umat ini seluruhnya berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu maka mereka tidak akan bisa memberi manfaat kecuali yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan apabila mereka berkumpul untuk menimpakan bahaya kepadamu, maka niscaya mereka tidak akan mampu menimpakan kemudhorotan itu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu.” (HR: Tirmidzi)
Dengan meyakini bahwa semua itu adalah dari Allah Azza wa Jalla semata maka seorang mukmin akan mengembalikan semua urusannya kembali kepada Allah, disertai keyakinan bahwa di dalamnya pasti terkandung hikmah dan pelajaran. Seorang mukmin tidak akan menjadi stres dgn adanya musibah yg menimpa dia.
2. Disebabkan karena dosa dan kesalahan kita sendiri.
Allah berfirman, yg artinya, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yg merugi.” (QS:Al A’frof: 23)
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. “ (QS: Hud: 11)
3. Pelajaran atas banyaknya dosa dan maksiat yang kita lakukan.
Allah berfirman, yg artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (QS: Alahqof: 27)
Ibnul Jauzi berkata, “Sebesar apa pun musibah yang datang menimpa, hal itu masih belum sebanding dengan dosa yang telah mereka kerjakan”.
4. Bukti kecintaan pada seorang hamba.
Rosululloh shollallohu’alaihi wa salam bersabda, yg artinya, “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Bila Alloh suka kepada suatu kaum maka mereka akan diuji. Jika mereka ridho maka Allah ridho dan bila dia marah maka Allah pun akan marah padanya.” (HR:Tirmidzi)
5. Menghapus sebagian dosa orang mukmin.
Rosululloh shollallohu’alaihi wa salam bersabda, yang artinya,“Tidaklah musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus dosanya, sekalipun musibah itu hanya tertusuk duri.” (HR: Bukhori)
“Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR: Ahmad dan Tirmidzi)
Sebagian umat terdahulu yang sholeh berkata, “Kalaulah bukan karena musibah yang menimpa pastilah kita memasuki negeri akhirat sebagai orang-orang yang pailit”.
6. Ujian atas keimanan.
Allah berfirman, yang artinya, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS: Al Baqoroh: 214)
Rosululloh shollallohu’alaihi wa salam bersabda, yang artinya, “Diantara orang-orang sebelum kalian, ada yang digalikan sebuah lubang untuknya. Ia dimasukkan ke dalamnya, didatangkan sebuah gergaji lalu diletakkan di atas kepalanya dan ia pun dibelah menjadi dua. Ada juga yang disisir dengan sisir besi sampai mengelupas kulit dan dagingya. Tetapi semua itu tidak menghalangi mereka dari din mereka” (HR: Bukhori)
Masya Allah!!! Lalu bagaimana dengan kita? Maka sungguh betapa lemahnya keimanan kita.
Apa yang Seharusnya Kita lakukan?
Setelah meyakini dengan seyakin-yakinnya apa yang telah disebutkan di atas, lalu langkah apa yang seharusnya dilakukan jika musibah itu telah menimpa?
1. Bersabar dan menerima takdir Allah.
Allah berfirman, yang artinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (QS: Al Baqoroh: 155-156)
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS: At-Taubah: 51)
2. Berfikir, mengapa musibah terjadi.
Allah berfirman, yg artinya, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS:Al An?fam: 11)
3. Bertaubat dari dosa dan maksiat yang selama ini dilakukan.
Allah berfirman, yang artinya, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS:Al A?frof: 23)
4. Berbaik sangka dan tidak berputus asa terhadap rahmat Allah.
Allah berfirman yang artinya, “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS: Yusuf: 87)
Dari Ummu Salamah,“Tidak ada seorang muslim pun yg ditimpa suatu musibah lalu dia mengucapkan apa yg diperintahkan oleh Allah ;“inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, Allohumma ajirni fii mushibati wakhluf liikhoiron minha”, kecuali Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik Darinya”. Maka ketika Abu Salamah wafat, aku bergumam, “Siapa seorang muslim yg lebih baik dari Abu Salamah? Sebuah keluarga yang pertama kali berhijrah kepada Rosululloh? Namun lalu aku mengucapkannya. Dan Allah menggantikannya dengan Rosululloh” (HR: Muslim)
Perkara Yang Sungguh Sangat Menakjubkan
Lewat lisan Rosul-Nya Allah telah memuji orang-orang yang beriman. Semua keadaan yang dialaminya itu bernilai kebaikan. Semua keadaan,itu dapat mengantarkannya pada sifat dan kedudukan terpuji di sisi Allah Ta’ala. Yakni asalkan dapat bersikap dengan sikap yang sebagaimana mestinya pada keadaan-keadaan tersebut. Rosululloh shollallohu’alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan semua keadaan orang-orang mukmin. Sesungguhnya semua urusan yang dimilikinya itu semuanya baik, dan tidaklah hal demikian itu dimiliki kecuali hanya oleh orang-orang mukmin saja. Jika dia mendapat kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya; dan apabila mendapatkan kesusahan dia bersabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Maka kalau kita perhatikan maka tidaklah seseorang itu keluar dari dua keadaan, yaitu yang menyenangkan dan yang menyusahkan. Di balik dua keadaan ini ternyata Allah telah menyediakan pahala yang besar; yakni bila mendapati sesuatu yang menyusahkan maka bersabar, dan sebaliknya bila mendapati sesuatu yang menyenangkan dia akan bersyukur. Sehingga dalam kondisi apapun juga, seorang mukmin selalu mendapatkan kesempatan untuk menuai pahala.
Nasehat dari Ibnul Jauzi Rohimahulloh
Ibnul Jauzi berkata, “ Orang yang ditimpa ujian dan hendak membebaskan diri darinya, hendaklah menganggap bahwa ujian itu lebih mudah dari apa yang mudah. Selanjutnya, hendaklah membayangkan pahala yang akan diterima dan menduga akan turunnya ujian yang lebih besar. Perlu diketahui, bahwa lamanya waktu ujian itu seperti tamu yang berkunjung. Untuk itu, penuhilah secepatnya apa yang ia butuhkan, agar ujian cepat berlalu dan akan datang kenikmatan, pujian serta kabar gembira kelak di hari pertemuan, melalui pujian sang tamu. Sikap yang seharusnya diambil oleh seorang mukmin didalam menghadapi kesusahan adalah meniti setiap detik, mencermati apa yang telah terjadi di dalam jiwanya dan menguntit segala gerakan organ tubuh yang didasari oleh kekhawatiran kalau-kalau lisan salah mengucap atau dari hati keluar ketidakpuasan. Dengan sikap demikian, seolah-olah fajar imbalan telah menyingsing, malam ujian telah berlalu, sang pengembara pun melepaskan kegembiraan hatinya karena pekatnya malam telah sirna. Terbitlah mentari balasan dan sampailah si pengembara ke rumah keselamatan”.
(Sumber Rujukan: Shoidul Khothir karya Ibnul Jauzi)