Suatu ketika, seorang alim diundang berburu. Sang alim hanya dipinjami kuda yang lambat oleh tuan rumah. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Semua kuda dipacu dengan cepatnya agar segera kembali ke rumah. Tapi kuda sang alim berjalan lambat. Sang alim kemudian melepas bajunya, melipat dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda yang mereka tunggangi lebih cepat.
Dengan perasaan heran, tuan rumah bertanya kepada sang alim, ”Mengapa bajumu tetap kering?” ”Masalahnya kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju,” jawab sang alim ringan sambil berlalu meninggalkan tuan rumah.
Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita mengalami kesalahan orientasi (persepsi) seperti tuan rumah dalam cerita di atas. Kita menginginkan sesuatu namun tidak memiliki orientasi seperti yang diinginkan, sehingga akhirnya kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Begitu pula dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang menginginkan ibadahnya di bulan Ramadhan dapat merubah dirinya menjadi lebih baik. Namun setelah Ramadhan, ternyata sifat dan perilakunya kembali seperti semula. Tak berubah secara signifikan. Ia hanya mendapatkan lapar dan haus. Persis seperti yang disabdakan Nabi saw, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa pun, kecuali lapar dan haus.”
Hal itu karena orientasinya keliru. Ia tidak tahu hikmah di balik keagungan bulan Ramadhan. Salah satu dari sekian banyak hikmah Ramadhan yang sering dilupakan orang adalah fungsinya sebagai pembangkit semangat hidup. Ramadhan sesungguhnya adalah bulan motivasi (syahrul hamasah). Ramadhan semestinya mampu menjadikan setiap muslim yang beribadah di dalamnya menjadi termotivasi hidupnya.
Coba kita lihat apa yang terjadi pada diri nenek moyang kita (para sahabat dan ulama sholihin) setelah ditempa Ramadhan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ajang pembakaran semangat yang membara. Sejarah mencatat dengan tinta emas sepak terjang mereka yang produktif. Banyak orang yang tak tahu, karena memiliki motivasi yang tinggi, umat Islam terdahulu menjadi penguasa dunia selama lebih kurang 14 abad. Lebih lama daripada kejayaan Eropa. Apalagi dari Amerika yang baru berjaya di akhir abad ini.
Kejayaan Islam yang demikian lama di masa lalu tak bisa dipisahkan dari semangat nenek moyang kita untuk selalu bersemangat dan produktif dalam berkarya. Beberapa contoh bisa disebutkan di sini. Ibnu Jarir, misalnya, mampu menulis 14 halaman dalam sehari selama 72 tahun. Ibnu Taymiyah menulis 200 buku sepanjang hidupnya. Imam Ghazali adalah peneliti di bidang tasawuf, politik, ekonomi dan budaya sekaligus. Al-Alusi mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Sedang Jabir bin Abdullah rela menempuh perjalanan selama satu bulan demi mendapatkan satu riwayat hadits. Fatimah binti Syafi’i pernah menggantikan lampu penerangan untuk ayahnya (Imam Syafi’i) sebanyak 70 kali.
Semangat mereka terangkum dalam perkataan Abu Musa Al-Asy’ari ra.yang pernah ditanya oleh sahabatnya, ”Mengapa Anda tidak pernah mengistirahatkan diri Anda?” Abu Musa menjawab, ”Itu tidak mungkin, sesungguhnya yang akan menang adalah kuda pacuan!” Suatu ungkapan indah yang menggambarkan semangat yang membara, jiwa yang selalu ingin berkompetisi, berani dan pantang menyerah.
Semangat Itu Ada di Depan Kita
Semangat nenek moyang kita yang luar biasa dalam beramal tak bisa dilepaskan dari orientasi mereka yang benar terhadap fungsi ibadah dalam Islam, termasuk fungsi ibadah Ramadhan sebagai ajang melejitkan motivasi (achievement motivation training). Beda dengan kebanyakan kaum muslimin saat ini yang lebih memahami ibadah Ramadhan sebagai kegiatan seremonial dan tradisi tanpa makna.
Beberapa bukti yang menunjukkan fungsi Ramadhan sebagai bulan pemotivasian adalah:
1. Shaum (puasa)
Tahukah Anda bahwa kekuatan semangat dapat mengalahkan kekuatan fisik? Itulah yang Allah latih kepada kita di bulan Ramadhan. Selama sebulan kita dilatih untuk mengalahkan nafsu yang berasal dari tubuh kasar kita; nafsu makan, minum, dan seksual. Kenyataannya, di bulan Ramadhan kita mampu mengalahkan tarikan nafsu demi memenangkan semangat ruh kita.
Sayangnya, latihan itu tidak dilanjutkan dalam skala kehidupan yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih lama setelah Ramadhan, sehingga banyak di antara kita yang hidupnya tidak bersemangat dan produktif dalam beramal. Padahal kunci motivasi itu adalah kemampuan mengalahkan kekuatan fisik. Itulah yang kita lihat pada diri Abdullah bin Ummi Maktum ra.yang matanya buta tapi ngotot untuk ikut berperang bersama Rasulullah. Juga pada diri Cut Nyak Dien atau Jenderal Sudirman, yang pantang menyerah kepada pasukan kolonial walau dalam kondisi sakit parah.
2. Tarawih
Ramadhan sebagai syahrul hamasah juga terlihat dalam pelaksanaan sholat tarawih. Sholat tarawih artinya sholat (di waktu malam) yang dilakukan dengan santai. Di zaman sahabat, sholat tarawih biasa dilakukan sepanjang malam. Dengan bacaan yang panjang dan diselingi juga dengan istirahat yang lama. Bahkan pernah dalam satu riwayat, para sahabat melakukan sholat tarawih berjama’ah sampai menjelang subuh.
Hikmah dari ibadah tarawih yang dilakukan dengan santai dan tidak terburu-buru adalah untuk membentuk watak kesabaran dan ketekunan. Kita tahu, kesabaran dan ketekunan adalah kunci dari motivasi. Tidak mungkin seseorang itu termotivasi dan produktif berkarya tanpa memiliki sifat sabar dan tekun. Watak inilah yang dimiliki oleh nenek moyang kita, sehingga mereka menjadi umat yang jaya di masa lalu.
Hal ini berbeda dengan pelaksanaan sholat tarawih di masa kini. Di mana waktunya tidak lebih dari 1-2 jam. Bahkan seringkali dilakukan tergesa-gesa. Hikmah tarawih sebagai ibadah yang melatih watak kesabaran dan ketekunan menjadi hilang, sehingga lenyap pulalah salah satu sarana pelatihan umat Islam untuk menjadi orang yang termotivasi hidupnya.
3. I’tikaf
Sarana lain yang disediakan Allah SWT untuk membentuk ruh semangat adalah i’tikaf. Ibadah i’tikaf berarti diam menyepi (untuk mengingat Allah) dan meninggalkan kesibukan duniawi. Bagi laki-laki, i’tikaf dilakukan di masjid. Sedang bagi perempuan dilakukan pada ruangan khusus di rumahnya.
Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan ibadah i’tikaf ini sepanjang hidupnya. Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang sholih sepeninggal beliau. Sudah menjadi hal yang lazim di masa nenek moyang kita bahwa setiap Ramadhan masjid penuh dengan orang-orang yang i’tikaf.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. I’tikaf menjadi ibadah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin. Padahal ibadah ini sangat penting untuk kontemplasi diri. Dalam i’tikaf, kita melakukan uzlah (pertapaan) sebagai modal penting untuk bangkit dari keterpurukan atau sebagai momen untuk berubah. Nabi Muhammad saw berubah dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa (nabi) setelah uzlah ke Gua Hiro. Lalu Allah menggantikan sarana uzlah tersebut dengan i’tikaf untuk kita. Agar kita meniru perubahan menjadi manusia luar biasa tersebut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Allah meminta kita agar mengulangi momen uzlah tersebut setiap tahun, sehingga kita selalu termotivasi untuk berubah semakin baik dari tahun ke tahun. Dari bulan ke bulan. Bahkan dari hari ke hari. Nabi saw bersabda, ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemaren, ia celaka. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemaren, ia merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren, ia beruntung.”
Ramadhan sebagai bulan pemotivasian seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kita semua. Sungguh beruntunglah mereka yang menggunakan Ramadhan sebagai ajang peningkatan motivasi hidupnya. Lalu dengan modal Ramadhan ia mengisi hari-harinya di luar Ramadhan dengan semangat yang membara untuk beramal melesat ke angkasa kemuliaan. Sungguh, ada semangat dalam Ramadhan.**
Satria Hadi Lubis, MM, MBA
Sumber : Eramuslim.com tgl.21 September 2006